Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Teknologi)
Seiring dengan berbagai perubahan yang terus berjalan tanpa henti, ditambah lagi kisah pilu pandemi covid yang langsung menyergap tanpa ampun kepada seluruh warga dunia dimanapun berada, telah menciptakan sebuah kondisi yang “dipaksa” atau “terpaksa” sebuah transformasi yang dipercepat sehingga menuntut setiap umat manusia agar terus beradaptasi dengan berbagai perubahan. Untuk mempercepat proses adaptasi yang merata tentu diperlukan berbagai terobosan kreatif agar setiap warga negara merasa memperoleh kesempatan yang sama, dan perlakuan yang adil untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Dimensi proxy yang bersifat virtual dalam platform digital seolah menjadi media alter ego yang juga seolah merepresentasikan konsep dunia yang paralel. Kita membelah diri dalam 2 entitas yang terdiri dari elemen biologi dan elemen koding serta enkripsi. Keduanya memiliki algoritma yang saling terkonjugasi meski tetap terseparasi materi. Jembatan di antara keduanya adalah kesadaran, dimana menurut Brogaard et al, kesadaran adalah suatu fungsi yang dibangun melalui proses integrasi informasi berupa pengalaman dan pembelajaran. Integrasi informasi tersebut akan melahirkan konsep referensi dan preferensi yang akan berkorelasi dengan motif dan keputusan (ekseskusi).
Menurut Brogaard 3 pilar teori utama yang mendasari mekanisme pengintegrasian informasi adalah Information Integration Theory (IIT), Global Workspace Theory (GWT), dan Attended Intermediate-Level Theory (AIR). Dimana ketiganya berbicara tentang fungsi neuronal yang saling terkoneksi untuk mengubah sensasi menjadi persepsi. Teori Global Workspace mengatakan bahwa sebaran neuron GWT fungsional tersebar di banyak bagian otak, dan terkonsentrasi lebih tinggi di PFC dan Korteks Singulata Anterior. Artinya sistem rujukan dan pengambilan keputusan memerlukan asupan adekuat dari semua area asosiasi dan analitik kognitif untuk dapat bekerja menghasilkan kesadaran, keyakinan, dan juga tentu saja keputusan. Integrasi informasi dalam ranah elemen biologis yang terepresentasi di otak manusia ternyata juga teranalogikan dalam jejaring atau network digital.
Konsep network society yang didukung berbagai platform media sosial pada gilirannya akan membentuk ekosistem interaksi yang memediasi proses pengambilan keputusan dan juga berbagai bentuk transaksi sosial yang sejenis dengan prinsip dasar referensi dan preferensi di otak manusia. Dengan demikian maka platform media sosial seolah menjadi representasi dari node tunggal individual yang berinteraksi dalam skala komunal. Cocok dengan konsep the Network Society nya Castells yang menyatakan bahwa fitur utama jaringan adalah flexibility, scalability, dan survivability. Proses integrasi informasi dalam sistem biologi personal ternyata memiliki kesamaan dengan jejaring yang dibangun oleh media sosial dalam tingkatan komunal.
Kondisi pandemi yang membatasi aktivitas di dimensi materi mendorong terjadinya migrasi digital secara besar-besaran. Proses pendidikan, bisnis, sampai layanan kesehatan bertransmigrasi ke sebuah pulau maya yang bernama Digiland. Gerbang masuknya adalah piranti seluler dan semua jenis gadget yang terkoneksi dengan jaringan internet. Kalau di otak ini antara lain diperankan oleh Thalamus. Di sinilah teori Honeycomb dari Kietzmann et al diuji. Apakah Digiland yang menjadi platform dari sebuah ekosistem maya dapat membangun akuntabilitas, objektivitas, dan juga transparansi ? Mengingat jejak dan identitas digital, selain dapat dilacak juga dapat dikaburkan.
Dengan demikian akan tercipta efisiensi karena mobilitas dan permutasi yang menjadi keniscayaan di dimensi materi akan tereduksi. Paralelitas dan kemampuan multi tasking akan menjadi keutamaan lainnya. Kecepatan proses, misal dalam transaksi dan proses manufaktur terotomasi akan mereduksi biaya produksi dan meningkatkan daya beli (saat kurva belajar telah melampaui titik puncaknya). Kesejahteraan akan terdistribusi, dan berbagai modalitas kepentingan akan terafirmasi, atau terkanalisasi.
Sejalan dengan itu kompetisi jenis baru dan kegagapan teknologi akan menjadi jurang perangkap yang menghasilkan disparitas temporer. Siapa yang tidak mau berubah maka akan menjadi fosil. Peradaban yang terus berubah tidak akan punya waktu lagi untuk bertanya pada kita, terutama soal siap atau tidaknya. Jika kita akan selalu siap serta bersedia untuk terus beradaptasi, maka ia akan memberi kesempatan agar kita tetap hidup dengan penyesuaian – penyesuaian baru. Namun jika kita tidak siap, tentunya kita akan dilindas oleh zaman sampai mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa kita sudah tidak sanggup lagi mengikuti irama perubahan yang sangat cepat. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab kita semua untuk terus mensosialisasikan berbagai tantangan ke depan sehingga generasi muda semakin siap dan sadar untuk berlayar di samudera kehidupan yang sesuai dengan zamannya.
0 Comments